Siapakah Pemuda?
Salah satu pepatah “masa depan sebuah bangsa berada di tangan pemuda” merupakan kalimat yang tidak dapat dianggap sebatas nasihat tua belaka, pepatah ini memiliki makna konstruktif bagi sebuah bangsa sebagai harapan membangun kehidupan esok yang lebih baik. Kalimat itu pun sudah terbukti kehebatannya di berbagai negara dengan memberikan perubahan yang dianggap terbaik bagi bangsanya, seperti gerakan pemuda intelektual dan mahasiswa di Cina pada tanggal 4 Mei 1919 yang menuntut adanya reformasi dalam bidang bahasa, kesusastraan, kebudayaan, hingga politik dan ekonomi. Kekuatan yang dimiliki pemuda untuk melakukan perubahan bukan terletak pada tenaga fisik mereka tetapi pada kemampuan berpikir secara revolusioner. Untuk mengubah tatanan lama budaya sebuah bangsa dibutuhkan pola pikir terbaru yang jauh lebih muda dan segar.
Mayoritas di seluruh dunia mengidentifikasikan pemuda dalam batasan usia namun dalam rentang yang berbeda-beda. Di Indonesia, batasan umur pemuda menurut UU No. 40 Tahun 2009 dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan, “pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.” (http://www.detiknews.com/read/2009/09/15/131614/1203902/10/uu-kepemudaan-disahkan-dpr, diakses 1 Agustus 2010, pukl 20.30). Pembatasan usia hanya sampai 30 tahun bertujuan memberikan tempat kepada pemuda untuk berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan agar siap menggantikan generasi sebelumnya yang telah lewat batas usia 30 tahun. Apakah faktor usia menjadi penentu seseorang dpat dikatakan sebagai pemuda?
Definisi tentang pemuda juga dapat dilihat dari sudut pandang sosiologi, sejarah, maupun psikologi. “Menurut ilmu sosiologi dan sejarah, pemuda lebih dilihat dari nilai subyektifnya, yaitu kepemudaan dirumuskan berdasarkan tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis. Bidang ilmu psikologi juga membantu menerangkan konsep pemuda yakni dengan memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, yang sangat erat pula hubungannya dengan latar belakang kebudayaan.” (Taufik Abdullah, Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta. 1985, hlm.1 dan 2). Setelah didapat berbagai pandangan mengenai konsep pemuda, dapat dilihat bahwa pemuda tidak hanya dikaitkan dengan batasan usia namun perlu adanya nilai dari suatu sikap mereka yang diakui oleh masyarakat, kesamaan pengalaman dalam proses sosialisasi, serta pembentukan kepribadian yang didukung oleh lingkungannya.
Istilah pemuda pun mengalami perubahan menjadi remaja atau anak muda pada era Orde Baru yang disebabkan peralihan kegiatan dan minat mereka dari yang bernuansa politik menjadi kegiatan hiburan semata.
Sekilas Peran Pemuda dalam Politik Sebelum Orde Baru
Sejumlah peristiwa penting di Indonesia seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi 1945, dan aksi mahasiswa 1966 menjadi saksi hidup bahwa pemuda turut memegang peranan penting. Keterlibatan pemuda dalam membawa perubahan di setiap zamannya didasari atas masalah kondisi bangsanya. Seperti pada tahun 1908, para pemuda intelektual dari STOVIA membentuk Oganisasi Budi Utomo untuk meningkatkan kemajuan bangsa melalui penyediaan sarana pendidikan bagi kalangan bumi putera. Kesadaran para pemuda angkatan 08 bukan karena kebetulan, pendidikan Barat yang telah mereka peroleh telah menyadarkan tentang arti kolonialisme di negeri ini. Proses memajukan tingkat intelektualitas bangsa telah berada pada jalur yang tepat, hal ini terlihat pada kongres Sumpah Pemuda yang berhasil menyatukan perbedaan pemuda-pemudi dari latar belakang etnis dalam suatu sumpah menjadi satu bangsa. Rasa kesatuan sebagai satu bangsa inilah yang kemudian membawa kepada perjuangan pemuda pada revolusi untuk mencapai kemerdekaan. Uniknya, pada perjuangan merebut kemerdekaan, para pemuda (Angkatan 45) bertindak sebagai pejuang pertempuran di medan perang tidak seperti pemuda angkatan 08 dan 28 (sebutan untuk pemuda pada masa kebangkitan nasional dan sumpah pemuda) yang berperan sebagai intelektual.
Tahun 1950, setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan sepenuhnya oleh dunia internasional, pemerintahan mulai merancang sebuah sistem pemerintahan yang lebih terbuka dan mendorong aktif masyarakatnya berpartisipasi dalam sebuah demokrasi untuk pembangunan bangsa. Hal ini dapat terlihat dari banyak kemunculan partai politik serta organisasi-organisasi masyarakat maupun mahasiswa. Masing-masing dari partai politik tersebut memiliki ideologinya masing-masing dan tampak memaksakan kehendaknya sendiri untuk kepentingan partai. Di bawah kelompok partai, terdapat golongan pemuda dari berbagai kalangan membentuk organisasi yang memiliki ideologi serupa di atas mereka. Pemuda menjadi sebuah perpanjangan tangan dari partai-partai yang sedang berkuasa pada pemerintahan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Secara tidak langsung pemuda bergerak dalam kendali orang-orang di atasnya. Gerakan pemuda pada saat itu disebut, seperti yang dikatakan oleh Onghokham dalam tulisannya Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik, Angkatan 57 memiliki karakteristik yang khas karena di samping terlihat sangat mendukung terhadap pemerintah, pemuda juga memanfaatkan kepentingan mereka dalam radikalisasi partai. (Onghokham, “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik,” Analisa Kekuatan Politik di Indonesia. 1985, hlm.124).
Seiring berjalannya kondisi ekonomi serta politik yang carut marut pada masa runtuhnya demokrasi terpimpin dimulai pada paruh kedua 1965, timbulnya berbagai tindak penyalahgunaan kekuasaan, dan sikap apriori oleh para pemimpin bangsa menggerakkan pemuda untuk beroposisi menentang rezim yang sedang berkuasa. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, para pemuda angkatan 66 lebih memilih lepas dari orientasi pemerintahan pada saat itu dan menyuarakan tuntutan rakyat (Tritura). Namun, aksi yang dilancarkan oleh kelompok seperti contohnya KAMI nampaknya tidak akan berhasil apabila tidak mendapat dukungan dari pihak militer, lagi-lagi pemuda seperti berada dalam kendali pihak luar.
Pelarangan Musik Barat pada Era Orde Lama
Keadaan terpuruk selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat khususnya pemuda. Keinginan untuk membawa perubahan yang lebih baik terhadap rakyat secara umum menjadi tuntutan mereka. Setelah dominasi orde lama berakhir, pemerintahan selanjutnya mulai memberikan keleluasaan terhadap segala sesuatu yang dilarang sebelumnya seperti hal-hal yang berbau barat. Pasalnya, semenjak Presiden Soekarno menyerukan gagasan Manipol-USDEK (Manifesto Politik-Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) yang bertujuan untuk memperjuangkan kembali semangat revolusi di segala bidang, dan menanamkan kepribadian Indonesia, muncul berbagai larangan terhadap peredaran musik barat di Indonesia. Dalam masalah ini termasuk larangan peredaran musik impor dari luar negeri termasuk twist dan rock ‘n roll serta lagu-lagu cengeng dari Indonesia. Nah, yang terakhir disebutkan adalah jenis musik yang paling dipermasalahkan di Indonesia, mulai dari irama musiknya, maksud serta arti dari lirik lagu tersebut, hingga pelaksanaan pertunjukkan musik.
Musik rock ‘n roll ditanggapi negatif oleh pemerintah pada saat itu karena iramanya yang keras serta mengandung unsur kegilaan dapat membawa pengaruh buruk bagi perkembangan moral dan kepribadian pemuda. Maka, pemerintah mulai melakukan pelarangan pemutaran lagu-lagu barat terutama bagi rock ‘n roll di radio pemerintah (RRI) serta menghimbau kepada grup musik untuk tidak membawakan lagu barat pada saat pentas. Padahal, sejak tahun 1950an musik hiburan barat sedang diminati oleh orang Indonesia, berbagai festival band diadakan untuk mengapresiasikan kreatifitas pemuda yang memiliki bakat musik. Ironisnya, para pemuda lebih tertarik membawakan lagu pop barat, cha-cha, atau rock ‘n roll menirukan gaya idola mereka. Contohnya grup musik Koes Bersaudara sering membawakan lagu-lagu milik The Everly Brothers, The Bee Gees, dan The Beatles.
Dominasi budaya asing di Indonesia menyebabkan pemerintah khawatir terhadap redupnya minat pemuda terhadap kebudayaan dalam negeri. Untuk itu, “pada awal tahun 1963, larangan budaya Barat di Indonesia dikuatkan kembali melalui Penpres (Penetapan Presiden) No.11 tahun 1963 yang melarang peredaran musik Barat, terutama rock yang berasal dari Amerika Serikat dan Inggris.” (Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah. Bekasi: Koperasi Ilmu Pengtahuan Sosial, 2009).
Peralihan Rezim, Peralihan Minat Pemuda
Larangan yang diberlakukan pemerintah Orde Lama hanya berlangsung beberapa tahun karena terjadi peralihan kekuasaan kepada Orde Baru pada tahun 1967. Musik Barat diperbolehkan untuk dimainkan kembali pada masa Orde Baru, hal ini juga disinyalir untuk memperbaiki hubungan dengan Barat. Diadakannya pertunjukkan musik oleh BKS Kostrad (Badan Kerjasama Seniman-Komando Strategis Tjadangan Angkatan Darat) bersama dengan para musisi adalah salah satu contoh untuk meyakinkan masyarakat bahwa musik Barat boleh dimainkan dan diperdengarkan kembali.
Sejak tahun 1967 juga berdiri radio-radio baru non pemerintah yang memutar lagu-lagu Barat yakni radio Prambors. Untuk melayani keinginan remaja yang ingin mendengarkan lagu-lagu rock ‘n roll, Prambors menjadi pilihan utama mereka. Saat itu radio swasta merupakan media paling ampuh untuk mengakses hiburan dari Barat. Acara-acara selain musik pun disiarkan dengan cara anak muda tidak kaku seperti siaran RRI. Hal ini membuat Prmbors lebih mudah dicerna dan menarik untuk didengar.
Media lainnya adalah majalah hiburan, majalah jenis ini menampilkan berita sekitar kegemaran remaja, mulai dari musik, cerpen, hingga berita serta foto-foto artis dalam dan luar negeri. Melalui foto artis lengkap dengan gaya rambut dan gaya berpakaian, para remaja menjiplak penampilan para idola mereka tanpa berpikir panjang arti dari penampilan tersebut. Tidak heran jika rambut gondrong, celana jeans dan kemeja kumal yang dilepas dua kancing atasnya menjadi tren di kalangan anak muda pada awal rezim Orde Baru. Contoh majalah hiburan favorit pada saat itu ialah Aktuil, Top, Junior, Midi, dan beberapa nama yang muncul setelahnya.
Munculnya kelas masyarakat dengan pendapatan yang tinggi akibat dari keuntungan boom minyak tahun 1973 , yaitu meningkatnya hasil ekspor minyak Indonesia seiring dengan melonjaknya harga minyak internasional, menyebabkan naiknya pendapatan beberapa kalangan profesi serta perubahan pola konsumsi yang berlebihan. Golongan ini lebih sering menghabiskan uangnya untuk tempat hiburan malam, berbelanja ke pusat pertokon, membeli majalah hiburan, termasuk membeli motor ataupun peralatan musik. Yang terakhir ini merupakan keuntungan yang didapat para remaja dari keuntungan boom minyak yang diperoleh orang tua mereka. Mereka (anak muda) juga melakukan kegiatan hura-hura (non politis) dalam tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. (Tjahjo S. & Nug K., Musik Rock di Indonesia, Prisma. Oktober 1991).
Kenakalan Remaja
Menjamurnya kebudayaan Barat (Amerika dan Inggris) di Indonesia menimbulkan dampak baik dan buruk bagi perkembangan bangsa. Keuntungan yang diperoleh memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia internasional dan berharap untuk aktif dalam partisipasi global. Namun, dampak buruk tersebut malah menimbulkan perilaku menyimpang pada kalangan anak muda, seperti penggunaan narkotik, seks bebas, perkelahian antar geng, sampai kerusuhan pada saat konser musik terutama musik rock. Pengaruh buruk dari idola mereka (artis-artis luar negeri) ditiru secara mentah-mentah berdasarkan pengamatan mereka dalam majalah-majalah hiburan tanpa ditelusuri arti dari gaya hidup yang disebut hippies (Hippies merupakan bagian dari youth counter-culture yang menggugat kemapanan masyarakat kapitalisme industri maju yang tidak memberikan kebahagiaan kepada mereka tetapi justru bersifat menindas). (A. Tjhajo S. & Nug K).
Pelarangan Konser Musik Rock pada Masa Orde Baru 1973-1993
Musik rock di Indonesia pada masa awal Orde Baru sangat bergantung pada pertunjukkan musik hal ini dilihat dari sering diadakannya pertunjukkan musik yang dihibur oleh band-band seperti God Bless, The Rollies, Trenchem, AKA, SAS, dan lain sebagainya. Pertunjukan mereka sangat disukai penonton karena dua hal, yang pertama band-band lokal sering membawakan lagu rock Barat seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zeppelin, The Rolling Stones. Kedua, band rock lokal selalu menyuguhkan gaya panggung yang lain dari biasanya. Aksi teatrikal horor ala AKA, aksi menghancurkan gitar yang dilakukan Deddy Dores, penampilan God Bless yang membawa peti mati lengkap dengan mayat palsu. “Pada tahun 1970-an penonton musik rock Indonesia masih suka atraksi panggung yang “aneh-aneh”. Penonton musik di Indonesia menuntut gaya panggung yang hebat atraksinya, musik yang keras dengan sound system yang berkekuatan besar.” (Muhammad Mulyadi, hlm. 79).
Penonton musik rock akan sangat mudah kecewa apabila tidak puas dengan pertunjukkan yang disuguhkan oleh band, spontan mereka pun segera membuat onar dengan melempar apapun ke atas panggung dan menyoraki para pemain. Lebih parahnya lagi mereka yang tidak memiliki tiket masuk akan memaksa masuk ke dalam tempat pertunjukkan seperti menaiki pagar hingga menerobos penjagaan satuan pengamanan dengan anarkis. Summer 28 yang diadakan pada tahun 1973 di Pasar Minggu adalah salah satu contoh konser musik yang pertama menimbulkan kerusuhan yang mengakibatkan tercorengnya citra musik rock dalam negeri. “Pun di Lapangan Merdeka Medan, kerusuhan yang serupa terulang kembali pada Pesta Musik Udara Terbuka Aktuil 75, 11 Mei yang lalu.”(Medan, Summer 75, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1975/06/14/MS/mbm.19750614.MS67133.id.html, diakses pada tanggal 5 Agustus 2010, Pukul 21.30 WIB). Citra buruk terhadap musik rock juga tidak hanya ditampilkan pada setiap pertunjukkannya, tetapi juga pada perilaku menyimpang di kalangan musisi seperti penggunaan obat bius. Akibatnya banyak band rock yang dilarang tampil di beberapa daerah seperti halnya Ahmad Albar yang dilarang tampil di Semarang tahun 1983 dengan alasan musik rock tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan akan meracuninya. Kerusuhan mulai identik dengan musik rock di Indonesia ketika terjadi kembali kerusuhan pada beberapa konser musisi rock luar negeri seperti Deep Purple (Jakarta, 5 Desember 1975), Mick Jagger (Jakarta, 30 November 1988), Sepultura (Surabaya, 1992), dan Metallica (Jakarta, 10-11 April 1993).
Hingga dekade 80an, rezim Orde Baru telah melakukan tindakan represif terhadap beberapa band atau musisi yang membawakan lagu bernada protes terhadap pemerintah, termasuk novelis dan kritikus kebudayaan. (Jeremy Wallach, Underground Rock Music and Democratization in Indonesia,www.bgsu.edu/downloads/cas/file16892.pdf, diakses pada tanggal 1 Agustus 2010, pukul 20.15). Puncak dari pelarangan terhadap konser rock di Indonesia bermula dari diadakannya konser band asal Amerika Serikat, Metallica. “Warung dan kedai minum di sekitar stadion hancur. Puluhan mobil ringsek, pejalan kaki wanita dipermalukan, dan rumah-rumah dan pertokoan mewah di Pondok Indah dilempari.” (Tempo, 24 April 1993) Sejak saat itu semua konser musik rock internasional dan pertunjukkan musik metal dilarang, karena dianggap akan membawa pengaruh buruk bagi pemuda Indonesia. (Wendy Putranto, wawancara dalam film Global Metal, http://www.youtube.com/watch?v=UjXLm6otB4o diakses pada tanggal 5 Agustus 2010, pukul 21.35 WIB).
Tindakan represif rezim Orde Baru memang memiliki alasan untuk menjaga keamanan dan mencegah pengaruh buruk yang dibawa oleh musik rock terhadap pemuda, tetapi apakah semua kerusuhan konser musik rock dan kenakalan remaja merupakan kesalahan dari pemuda itu sendiri? Tidakkah pemerintah melihat sebab mengapa dan bagaimana hingga mereka bisa melakukan tindakan tersebut? Perasaan saling menyalahkan antara generasi muda dan tua serta penindasan terhadap pemuda hanya semakin memperdalam jurang pemisah antar keduanya. Saling pengertian antar generasi mungkin salah satu dari banyaknya cara untuk mencapai konstruksi pemuda sebagai harapan bangsa.