Diplomasi Indonesia-Amerika Serikat di Masa-Masa Sulit tahun 1964-1965

Sejak memperoleh pengakuan kedaulatan sebagai sebuah negara melalui perundingan Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, Indonesia memiliki kesempatan untuk berhubungan dengan negara-negara di dunia internasional. Hubungan antar negara dalam bidang politik ini disebut dengan diplomasi. Sejak awal Indonesia memiliki gagasan politik luar negeri yang bebas dan aktif yakni bebas berhubungan dengan negara manapun dan turut aktif dalam forum internasional. Gagasan tersebut dipilih oleh para pemimpin Indonesia sebagai dasar berdiplomasi dalam dunia internasional tetapi tidak mengikat pada salah satu kelompok dalam konteks Perang Dingin.
Seperti yang kita ketahui pasca Perang Dunia II muncul konflik di antara dua pemenang perang yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keduanya bertentangan dalam hal ideologi antara demokrasi atau dunia bebas (free world) dengan komunis. Alasan lainnya adalah masalah wilayah bekas jajahan Jerman pada masa Perang Dunia II di Eropa. Uni Soviet menghendaki negara-negara bekas jajahan Jerman untuk menjadi bagian negara Uni Soviet dan mengikuti paham komunisme. Di sisi lain Amerika Serikat menentang hal tersebut dan mencoba mempengaruhi negara-negara Eropa Timur itu dengan memberikan bantuan ekonomi Marshall Plan. Persaingan Perang Dingin antara A.S. dan Uni Soviet ini tetap bertahan dan memperluas wilayah persaingannya sampai ke Asia dan Timur Tengah dan berakhir pada dekade 1980an.
Konflik Perang Dingin ini pun menyeret Indonesia masuk ke dalam politik luar negeri A.S. dan Uni Soviet. Jatuhnya Cina Daratan kepada komunis di tahun 1949 dan ancaman pengaruh komunisme di Vietnam membuat Amerika Serikat meningkatkan fokus kebijakan politik luar negerinya terhadap negara-negara di Asia Tenggara. Kekhawatiran A.S. semakin kuat terhadap teori domino yakni teori yang mengibaratkan negara-negara di Asia Tenggara yang akan berjatuhan secara berurutan kepada pengaruh komunisme dari utara (dalam hal ini Cina Daratan). Indonesia pun diperhitungkan sebagai negara yang rentan terhadap komunisme dan yang terutama sebagai penyedia sumber daya alam untuk Amerika Serikat.
Pada masa pemerintahan John F. Kennedy di tahun 1961, Indonesia berharap bahwa Amerika Serikat akan mendukungnya dalam pembebasan Irian Barat. Meski pada awalnya A.S. bersikap netral akan tetapi pada akhirnya A.S. bersedia membantu Indonesia dengan beberapa alasan internal maupun eksternal dan berhasil mengembalikan Irian Barat sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Citra A.S. pun membaik di mata Indonesia yang sebelumnya dianggap sebagai pendukung pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Kesempatan ini dimanfaatkan A.S. untuk memperbaiki hubungan diplomasi dengan Indonesia sekaligus membendung pengaruh komunisme Soviet melalui pemberian bantuan ekonomi dan bantuan ahli-ahli dalam bidang teknologi, pendidikan, kesehatan, dan olahraga. Program bantuan yang bernama action plan ini merupakan penawaran dari Presiden Kennedy kepada Presiden Sukarno dengan bujukan dari Duta Besar A.S. di Indonesia Howard P. Jones pada tahun 1962. Program bantuan ekonomi dan sebagainya itu dianggap sejalan dengan Program Pembangunan Delapan Tahun yang direncakan Indonesia pada saat itu.
Diplomasi Indonesia pada tahun 1960an (masa Demokrasi Terpimpin) lebih menunjukkan peran Presiden Sukarno sebagai pengambil keputusan utama dalam politik dalam negeri dan luar negeri. Meskipun demikian, Sukarno juga tidak lepas dari pengaruh orang-orang di sekitarnya, mulai dari pihak militer, PKI, dan menteri terdekatnya (seperti Subandrio). Presiden Sukarno menerima program bantuan dari Amerika Serikat atas dasar hutang budi kepada Presiden Kennedy yang telah membantunya dan memberikan sikap persahabatan. Ikatan persahabatan personal di antara kedua presiden tersebut mempengaruhi membaiknya hubungan Indonesia-Amerika Serikat dalam masa yang singkat mulai pada akhir tahun 1962 hingga awal 1963.
Hubungan yang diharapkan A.S. akan semakin membaik hanya bertahan beberapa bulan. Diumumkannya berita pembentukan Malaysia (dengan menyatukan Federasi Malaya ditambah Sarawak, Sabah, dan Siangpura) pada tanggal 16 September 1963 dengan dukungan penuh dari Inggris menjadi pemicu dilaksanakannya kebijakan garis keras Indonesia terhadap Malaysia dan neokolonialisme Barat. Pada awal konflik ini Amerika Serikat sempat diminta untuk mendukung Indonesia dalam pengajuan proposal mengenai masalah Serawak, Sabah, dan Brunei, akan tetapi A.S. tidak bisa melawan sekutunya yaitu Inggris. Maka Amerika Serikat dengan berat hati menolak permintaan sekaligus mengorbankan kepentingannya di Indonesia. Kekecewaan Sukarno terhadap sikap Amerika Serikat juga merambat sampai ke seluruh rakyat Indonesia, alhasil gerakan demonstrasi menentang Malaysia, Inggris, dan Amerika Serikat timbul dalam jumlah yang sangat besar pada tahun 1964.
Konfrontasi dengan Malaysia merupakan satu momen yang penting bagi politik luar negeri Indonesia, pertama untuk memperjuangkan negara-negara di Asia Tenggara yang bebas dari kolonialisme model baru dan kedua sebagai panggung unjuk kekuatan Indonesia (khususnya Sukarno) di mata dunia internasional. Seluruh komando berada di dalam satu pimpinan yaitu Presiden Sukarno, jadi seluruh komponen dalam lembaga pemerintahan, militer, dan organisasi lainnya harus mengikuti perintahnya apabila ingin bertahan atau memilih dilenyapkan jika berani menentangnya. Seperti yang terjadi dengan partai-partai yang dilarang seperti PSI, Masyumi serta organisasi BPS (Badan Pelindung Sukarnoisme).
Tidak ada upaya untuk memperbaiki keretakan hubungan tersebut meskipun masih ada sedikit hubungan yang dilakukan antara orang Indonesia dengan A.S. Sebelum seluruh program bantuan dibekukan (kecuali program beasiswa pelajar Indonesia di Amerika Serikat), masih ada kontak dari kelompok pro terhadap Amerika Serikat seperti Angkatan Darat dan beberapa menteri. Bantuan peralatan untuk kepolisian dan militer, bantuan sukarelawan Peace Corps masih sempat dijalankan di masa-masa sulit meski terus dipertimbangkan masalah keamanannya. Beberapa kredit luar negeri dan investasi dari Amerika Serikat juga masih dipertahankan. Pada saat pengambilalihan perusahaan asing oleh pihak Indonesia, perusahaan minyak Amerika Serikat juga tidak diambil alih karena merupakan obyek yang sangat vital bagi jantung perekonomian negara. Minyak merupakan pendukung utama perekonomian Indonesia dan apabila para ahli minyak dari luar negeri tersebut diusir maka ekonomi diperkirakan jatuh. Untuk itu beberapa obyek vital dalam bidang perekonomian perlu dipertahankan (pada tahun 1965 pengambilalihan pun terjadi) melalui bantuan pihak pro-Amerika Serikat.
Aksi pembakaran gedung-gedung serta pemboikotan fasilitas-fasilitas milik pemerintah Amerika Serikat di Indonesia menyulut kemarahan para pemimpin di Kongres untuk memberikan teguran keras kepada pemerintah Indonesia mengenai keamanan asetnya. Meskipun terdapat kubu orang Amerika pro-Indonesia seperti Dubes Jones yang menghendaki dilaksanakannya kebijakan yang bersahabat terhadap Indonesia, namun di lain pihak, elit A.S. anti- Sukarno lebih menginginkan kebijakan yang lebih tegas dengan jalan memutuskan hubungan diplomatik dalam sementara waktu sampai tercipta pemerintahan yang kondusif bagi kepentingan A.S.
Kombinasi kekuatan antara Sukarno dan Subandrio yang diilhami semangat revolusi dan anti-neokolonialisme barat telah menciptakan diplomasi yang keras terhadap A.S. Di saat tidak ada negara besar yang mendukung langkah Indonesia, kekuatan revolusioner semakin bertambah besar dan mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Faktor kepemimpinan Presiden Sukarno merupakan factor utama dalam pengambilan keputusan terhadap masalah diplomasi internasional. Para menteri dan orang-orang di bawah Sukarno harus mengikuti kehendaknya apabila ingin tetap bertahan dalam tatanan politik Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan kebijakan garis keras ini dapat dengan mudah diterima dan dilaksanakan oleh banyak orang Indonesia.
Akibat dari diplomasi yang keras terhadap Amerika Serikat, Indonesia menjadi terisolasi dari hubungan dengan banyak negara di dunia sementara itu ia mengikat hubungan dengan kelompok minoritas penganut komunisme, yakni Cina, Kamboja, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Kondisi politik luar negeri yang mengarah ke kiri ini juga mengakibatkan kondisi perekonomian dalam negeri yang semakin memburuk. Tingkat inflasi mulai menembus angka ratusan hingga menyebabkan tingginya harga-harga kebutuhan pokok di masyarakat. Kesejahteraan sosial belum tercapai secara merata dan sebagai gantinya diberikan makanan berupa semangat-semangat revolusi. Pemerintah A.S. pun berencana untuk mengambil sikap menjaga jarak dengan Indonesia sambil menunggu pemerintahan yang baru muncul menggantikan kepemimpinan Sukarno.

Referensi
Gardner, Paul F., Shared Hopes, Separate Fears : Fifty Years of US-Indonesia Relations. Colorado : Westview Press, 1997
Jones, Howard P., Indonesia, The Possible Dream. Jakarta: Gunung Agung, 1973
Wardaya, Baskara T., Cold War Shadow, United States Policy Toward Indonesia, 1953-1963. Yogyakarta: Galang Press, 2007.

Tinggalkan Komentar